KODEMIMPI - Aktivitas jual beli sempat hidup di beberapa pasar di Jalur Gaza ketika gencatan senjata Israel-Hamas diberlakukan sepekan sejak Jumat (24/11/2023) hingga Jumat (1/12/2023).
Sayangnya, selama jeda pertempuran tersebut, orang-orang yang berharap dapat membeli kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian hangat merasa frustrasi dengan kenaikan harga.
Kondisi itu pada akhirnya memicu kemarahan dan kebencian di antara para pembeli yang menyalahkan para pemilik toko atau kios atas tingginya harga.
Salah seorang warga Gaza yang merasakannya adalah Imm Abdullah.
Ia adalah pengungsi yang berasal dari lingkungan Nassr di Kota Gaza.
Abdullah telah pindah bersama 12 anak dan cucunya di salah satu sekolah yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Deir el-Balah.
Ia mengungsi sebulan yang lalu setelah Israel memerintahkan orang-orang di Gaza utara untuk pindah ke selatan.
Ia mengatakan kondisi di sekolah tersebut sangat memprihatinkan, tanpa air dan nyaris tidak ada makanan.
"Ketika tentara Israel melempari kami dengan selebaran, saya pergi bersama keluarga dengan hanya mengenakan pakaian salat," katanya, sebagaimana diberitakan Al Jazeera pada Kamis (30/11/2023).
Abdullah mengaku, di sekolah, keluarganya hampir tidak mendapatkan bantuan makanan.
"Suatu hari kami hanya mendapat sekaleng ikan tuna. Bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya dengan itu?" ucap dia.
- Harga kebutuhan pokok naik
Imm Abdullah lalu datang ke pasar kota untuk mencoba membeli makanan dan pakaian hangat untuk dirinya dan cucu-cucunya, karena cuaca telah berubah menjadi dingin.
Namun, setelah mengunjungi berbagai kios untuk mencari produk makanan pokok, kekesalannya meluap.
"Saya tidak percaya pada para pedagang ketika mereka mengatakan bahwa harga-harga itu di luar kendali mereka," katanya.
"Mereka dapat mengatur harga dan menyadari bahwa kita sedang mengalami masa-masa sulit, dan ini bukan sesuatu yang harus mereka manfaatkan," ucap dia.
Abdullah menyebutkan daftar bahan kebutuhan pokok yang sekarang tidak terjangkau, di antaranya air minum dalam kemasan, yang dulunya seharga 2 shekel (sekitar Rp 8.00), telah naik menjadi 4 atau 5 shekel (sekitar Rp 16.000-Rp 20.000).
Sementara itu, kata dia, harga sekarton telur telah naik menjadi 45 shekel (sekitar Rp 180.000), satu kilo garam yang dulunya seharga 1 shekel (sekitar Rp 4.000) menjadi 12 shekel (sekitar Rp49.000), dan gula menjadi 25 shekel (sekitar Rp 100.000).
"Ini sangat tidak adil. Saya tidak tahan lagi dan beberapa hari saya duduk di tepi laut dan menangis karena saya tidak tahu bagaimana cara memberi makan atau menghidupi keluarga saya. Kadang-kadang saya berharap kami tetap tinggal di rumah kami dan dibom saja daripada mengalami hal ini," kata Abdullah.
- Tingkat kemiskinan di Gaza
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, tingkat kemiskinan di Jalur Gaza telah mencapai 53 persen, dengan sepertiga (33,7 persen) penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Sekitar 64 persen rumah tangga di Gaza tidak memiliki cukup makanan, dan tingkat pengangguran mencapai 47 persen -salah satu yang tertinggi di dunia.
Menurut Elhasan Bakr, seorang analis ekonomi yang berbasis di Gaza, distorsi harga telah menyebabkan inflasi antara 300 hingga 2.000 persen untuk berbagai produk.
Bahkan sebelum 7 Oktober, blokade Israel selama 17 tahun di daerah kantong pesisir tersebut telah mengakibatkan kerugian sebesar 35 miliar dollar AS bagi perekonomian Palestina.
"Agresi Israel yang terbaru telah menjadi paku lain dalam peti mati ekonomi Gaza," kata Bakr kepada Al Jazeera.
"Kerugian langsung pada sektor swasta telah melampaui $3 miliar, sementara kerugian tidak langsung lebih dari 1,5 miliar dollar AS," tambahnya.
Sektor pertanian, menurut Bakr, telah mengalami kerugian langsung sebesar 300 juta dollar AS.
"Ini termasuk pencabutan dan pembuldoseran pohon-pohon berbuah di lahan pertanian di bagian utara dan timur dekat pagar Israel, yang berarti masih beberapa tahun lagi sebelum para petani dapat menuai apa yang mereka tabur," jelasnya.
"Kita berbicara tentang kelumpuhan total aktivitas ekonomi di Gaza. Ada 65.000 fasilitas ekonomi, mulai dari pertanian hingga industri jasa di sektor swasta yang telah hancur atau berhenti beroperasi karena perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya banyak pekerjaan, yang pada akhirnya menyebabkan kurangnya ketahanan pangan," kata dia.
Selain itu, sejumlah kecil bantuan yang diizinkan oleh Israel untuk masuk ke Gaza tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir satu juta pengungsi yang tinggal di sekolah-sekolah PBB bahkan untuk satu hari.
"Dari 22 Oktober hingga 12 November - dalam 20 hari itu - kurang dari 1.100 truk memasuki Jalur Gaza," kata Bakr.
"Kurang dari 400 truk di antaranya membawa produk makanan. Hanya 10 persen dari kebutuhan sektor pangan Gaza yang terpenuhi. Ini sama sekali tidak cukup, terutama ketika Anda mempertimbangkan fakta bahwa, sebelum 7 Oktober, setidaknya 500 truk masuk ke Jalur Gaza setiap hari," tambahnya.
Jalur Gaza, menurut dia, membutuhkan 1.000 hingga 1.500 truk per hari untuk memenuhi kebutuhan 2,3 juta penduduknya.